DUKA
Nenekku sedang terbaring di rumah
Bibi. Ia adalah ibu dari almarhum ayahku. Ia terkena sakit liver yang sudah
lama menyerangnya. Apakah aku akan merasakan duka cita yang ketiga kalinya
setelah kematian sepupu dan ayahku? Entahlah.
Di suatu malam, aku sekeluarga
merasakan ketegangan yang luar biasa. Menakutkan, penuh ketidakpastian.
Ibu
berkata padaku,”Le,mbahmu sudah gak ada
pertolongan,ayo dibacakan surat Yaasin”
“Mbah sudah pasti meninggal ya”, kataku
“Iya le,mbah kita doakan saja”
Ini pasti pertanda bahwa Ibuku sudah sangat
yakin bahwa nenekku pasti akan meninggal. Aku pernah menjenguknya di rumah
Bibi. Tubuhnya kurus, perutnya buncit, dan dalam keadaan lemah. Hatiku sungguh
tersayat-sayat melihatnya. Dulu Nenek adalah orang yang ceria, tidak pernah
mengeluh, dan membahagiakan cucu-cucunya. Sekarang Nenek hanya terbaring lemah,
menunggu keputusan Tuhan terhadapnya.
Sepertinya Tuhan sudah memutuskan
untuk mengambil nyawa Nenek. Kami sekeluarga mendapat SMS bahwa nenekku telah
meninggal. Kami sekeluarga langsung berangkat ke rumah bibiku. Terlihat olehku
bahwa Ibu tidak terlalu kaget atas meninggalnya nenekku.
Sesampainya disana, malam terasa
begitu dingin. Ternyata Nenek sudah dimandikan. Aku tidak bisa melihat
wajahnya. Ia sudah tertutup kain kafan. Semerbak kamper ada dimana-mana. Aku
dan warga setempat men-sholati mayat Nenek. Tapi sungguh aneh,ketika aku
melihat jasad nenek yang telah tertutup kafan, aku menyadari bahwa perutnya
tidak membuncit. Apa yang terjadi?
Kami membawa mayat Nenek ke
kediamannya di Kebumen naik Ambulance. Setelah sampai di kediamannya, warga
setempat menangis tersedu-sedu dan perasaan duka benar-benar terasa di sana.
Tapi entah mengapa aku tidak merasakan duka yang begitu dalam atas kematian
Nenek. Aku merasa bahwa kematian ayahlah yang sangat memukulku.
Ayahku telah meninggal 2 tahun lalu.
Sungguh pada saat itu aku benar-benar terpukul. Selain ia adalah ayahku
sendiri, ia meninggal tanpa sebab. Ia pingsan dan ternyata Ia sudah meninggal.
Namun aku mengambil amanat, aku semakin percaya bahwa yang mengambil nyawa Ayah
adalah Allah. Sehingga setelah kejadian itu, aku berusaha meningkatkan ibadah.
Kami membawa mayat nenek agar siap
dikebumikan. Kami membawa mayat Nenek ke
pemakaman. Tapi, perjalanan sangat jauh, sekitar 3 km. Aku, kakakku, dan
pamanku sudah tertinggal jauh di belakang. Di dalam hatiku, terdapat berbagai
pertanyaan. Mengapa warga memakamkan Nenek di tempat yang begitu jauh? Bukankah
ada tempat yang lebih dekat. Apakah sebenarnya rahasia dari warga-warga?
Sesampainya aku di pemakaman, jasad
Nenek sedang ditutupi dengan tanah. Namun aku melihat jasad Nenek berada dalam
suatu peti. Apa maksudnya ini? Ditutupi kain kafan, namun dimasukkan ke dalam
peti! Bukankah itu merupakan tradisi umat Nasrani? Setelah tertutup, aku
melihat kelapa muda segar dibelah oleh seseorang dan airnya disiram ke kuburan,
dan buahnya dibiarkan mengering. Benar-benar lekat dengan tradisi Jawa.
Kakak
berkata,”Duh,enake kelapa iku (Duh,
enaknya kelapa itu)”.
Aku
pun berkata,”Sek seger, tapi dijarno
kering(Masih segar, tapi dibiarkan mengering)” Entah mengapa kami berpikiran seperti itu di saat duka seperti
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar