Welcome To My Blog

Rabu, 28 Januari 2015

CERPEN



DUKA
            Nenekku sedang terbaring di rumah Bibi. Ia adalah ibu dari almarhum ayahku. Ia terkena sakit liver yang sudah lama menyerangnya. Apakah aku akan merasakan duka cita yang ketiga kalinya setelah kematian sepupu dan ayahku? Entahlah.
          Di suatu malam, aku sekeluarga merasakan ketegangan yang luar biasa. Menakutkan, penuh ketidakpastian.
Ibu berkata padaku,”Le,mbahmu sudah gak ada pertolongan,ayo dibacakan surat Yaasin
“Mbah sudah pasti meninggal ya”, kataku
Iya le,mbah kita doakan saja”
 Ini pasti pertanda bahwa Ibuku sudah sangat yakin bahwa nenekku pasti akan meninggal. Aku pernah menjenguknya di rumah Bibi. Tubuhnya kurus, perutnya buncit, dan dalam keadaan lemah. Hatiku sungguh tersayat-sayat melihatnya. Dulu Nenek adalah orang yang ceria, tidak pernah mengeluh, dan membahagiakan cucu-cucunya. Sekarang Nenek hanya terbaring lemah, menunggu keputusan Tuhan terhadapnya.
          Sepertinya Tuhan sudah memutuskan untuk mengambil nyawa Nenek. Kami sekeluarga mendapat SMS bahwa nenekku telah meninggal. Kami sekeluarga langsung berangkat ke rumah bibiku. Terlihat olehku bahwa Ibu tidak terlalu kaget atas meninggalnya nenekku.
          Sesampainya disana, malam terasa begitu dingin. Ternyata Nenek sudah dimandikan. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Ia sudah tertutup kain kafan. Semerbak kamper ada dimana-mana. Aku dan warga setempat men-sholati mayat Nenek. Tapi sungguh aneh,ketika aku melihat jasad nenek yang telah tertutup kafan, aku menyadari bahwa perutnya tidak membuncit. Apa yang terjadi?
          Kami membawa mayat Nenek ke kediamannya di Kebumen naik Ambulance. Setelah sampai di kediamannya, warga setempat menangis tersedu-sedu dan perasaan duka benar-benar terasa di sana. Tapi entah mengapa aku tidak merasakan duka yang begitu dalam atas kematian Nenek. Aku merasa bahwa kematian ayahlah yang sangat memukulku.
          Ayahku telah meninggal 2 tahun lalu. Sungguh pada saat itu aku benar-benar terpukul. Selain ia adalah ayahku sendiri, ia meninggal tanpa sebab. Ia pingsan dan ternyata Ia sudah meninggal. Namun aku mengambil amanat, aku semakin percaya bahwa yang mengambil nyawa Ayah adalah Allah. Sehingga setelah kejadian itu, aku berusaha meningkatkan ibadah.
          Kami membawa mayat nenek agar siap dikebumikan. Kami membawa mayat  Nenek ke pemakaman. Tapi, perjalanan sangat jauh, sekitar 3 km. Aku, kakakku, dan pamanku sudah tertinggal jauh di belakang. Di dalam hatiku, terdapat berbagai pertanyaan. Mengapa warga memakamkan Nenek di tempat yang begitu jauh? Bukankah ada tempat yang lebih dekat. Apakah sebenarnya rahasia dari warga-warga?
          Sesampainya aku di pemakaman, jasad Nenek sedang ditutupi dengan tanah. Namun aku melihat jasad Nenek berada dalam suatu peti. Apa maksudnya ini? Ditutupi kain kafan, namun dimasukkan ke dalam peti! Bukankah itu merupakan tradisi umat Nasrani? Setelah tertutup, aku melihat kelapa muda segar dibelah oleh seseorang dan airnya disiram ke kuburan, dan buahnya dibiarkan mengering. Benar-benar lekat dengan tradisi Jawa.
Kakak berkata,”Duh,enake kelapa iku (Duh, enaknya kelapa itu)”.
Aku pun berkata,”Sek seger, tapi dijarno kering(Masih segar, tapi dibiarkan mengering) Entah mengapa kami berpikiran seperti itu di saat duka seperti itu.
          Kematian datang atas kehendak Tuhan. Itulah pesan yang aku ambil. Siapa lagi yang akan meninggal setelah Nenek? Apakah Kakak, Paman, Kakek , Bibi, Ibu, atau bahkan aku? Entahlah. Apakah aku, yang telah berkali-kali melihat peristiwa duka seperti itu, sudah siap mengalaminya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar